Bursakota.co.id, Batam – Acara pembuktian sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan anggaran di SMKN 1 Batam, Kepulauan, telah selesai setelah dilakukannya pemeriksaan ke terdakwa Lea Lindrawijaya Suroso dan Wiswirya Deni.
Selama pembuktian, jaksa menghadirkan 18 orang saksi dan satu orang ahli dari BPKP Perwakilan Provinsi Kepri. Begitu juga dengan terdakwa menghadirkan 18 orang saksi yang merupakan guru dan tenaga honorer di SMKN 1 Batam, serta satu orang ahli yang merupakan perancang perundang-undangan dari Biro Hukum Kemendikbud Ristek RI.
Ketua Tim Penasehat Hukum Terdakwa, Bobson Samsir Simbolon mengatakan, selama acara pembuktian berlangsung, banyak fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, namun tidak satupun dari fakta persidangan yang dapat membuktikan dakwaan jaksa. Bahkan ahli dari BPKP yang dihadirkan oleh jaksa tidak dapat menjelaskan Laporan hasil perhitungan kerugian negara yang dijadikan salah satu alasan untuk mendakwa Lea dan Wiswirya.
“BPKP hanya menghitung belanja Dana BOS yang ditunjuk oleh jaksa saja, tidak dihitung semua belanja dana BOS pada tahun 2017 sampai dengan 2019. Artinya audit yang dilakukan BPKP adalah hanya untuk memenuhi selera jaksa saja. Ahli juga tidak pernah memeriksa komite SMKN 1 Batam, tetapi didalam laporan BPKP ada perhitungan dana komite, artinya auditor BPKP telah menghitung dana komite tanpa memeriksa komite yang bersangkutan, dan fakta persidangan sudah membuktikan bahwa di SMKN 1 Batam tidak ada Dana Komite,” katanya, Minggu (5/2/2023).
Ditambahkan dia, dari keterangan 36 orang saksi fakta yang diperiksa di bawah sumpah dimuka persidangan, maka terungkap bahwa tidak ada dana BOS yang digunakan untuk belanja yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Semua belanja dana BOS yang dipermasalahkan oleh jaksa ternyata sesuai dengan petunjuk teknis (juknis). Begitu juga Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) dana BOS telah sesuai dengan juknisnya.
“Yang dipermasalahkan jaksa itu bukan dana BOS nya, tetapi cashback yang diterima sekolah dari marketing buku yang belanjanya dari dana BOS. Cashback itu ternyata sumbangan dari pihak ketiga yang tidak terikat, sehingga itu bukan uang negara. Bahkan fakta persidangan sudah membuktikan bahwa penerimaan cashback sebesar Rp 132.374.529 serta tercatat dalam pembukuan bendahara sekolah,” terang Bob.
“Yang dipermasalahkan jaksa itu ternyata digunakan untuk kebutuhan sekolah guna menambah pembelian Robotino untuk alat praktek jurusan Elektronika Industri. Lalu seragam organisasi Taruna Siswa, menambah pembuatan Galery Kewirausahaan dan Biaya Training Management Vokasional,” tambah dia.
Dari situ, tim kuasa hukum terdakwa pun menyimpulkan, semua yang dikatakan jaksa di dalam media selama ini tidak satupun terbukti dimuka persidangan.
“18 orang saksi yang dihadirkan jaksa tidak ada satupun yang menerangkan adanya mark up, nota kosong, penunjukan sepihak oleh Kepala Sekolah, bahkan semua penyedia barang yang memberikan cashback sama sekali tidak pernah berkomunikasi dengan Ibu Lea. Jadi bohong itu kalau jaksa bilang ada mark up, nota kosong dan penunjukan sepihak,” kata Bob.
Belanja yang menggunakan dana SPP juga semuanya terbukti untuk kebutuhan dan kepentingan sekolah. Bahkan guru SMKN 1 Batam yang dijadikan saksi oleh terdakwa jiga menerangkan semua belanja itu ialah untuk kebutuhan dan kepentingan sekolah.
“Tidak ada yang fiktif, semua belanja menggunakan dana SPP itu nyata, bahkan telah disetujui oleh Ketua Komite SMKN 1 Batam pada saat itu,” ujar dia.
Sementara ahli dari Kemendikbud Ristek RI yang hadir dipersidangan atas permohonan terdakwa telah menerangkan dan menjelaskan kedudukan hukum dana BOS dan dana SPP sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Kata Bob, kedudukan uang SPP bukan uang negara atau uang daerah yang tercatat di APBN/APBD berdasarkan UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jadi, uang SPP adalah domain sekolah yang dikelolah sekolah berdasarkan prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) UU No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional.
Sampai pada hari ini, lanjutnya, juknis penggunanan SPP tidak ada, sehingga sebagai acuan penggunaan SPP SMKN 1 Batam membuat Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) mengacu pada delapan standar nasional pendidikan.
Bob membeberkan, hal itulah yang tidak dipahami oleh jaksa tentang dana pendidikan dan fungsi sekolah secara keseluruhan, managemen berbasis sekolah, merdeka belajar dan arah pembanguanan pendidikan itu sendiri.
“Makanya dalam persidangan jaksanya malu sehingga sama sekali tidak bertanya kepada ahli yang ditugaskan oleh Kepala Biro Hukum Kemendikbud Ristek RI. Bahkan Bapak Presiden Joko Widodo dalam sambutan peringantan hari Pendidikan nasional pada tanggal 2 Mei 2021, menekankan untuk pemberian otonomi lebih kepada satuan pendidikan untuk mengelola dirinya,” kata dia.
Pihaknya pun kini menunggu tuntutan dari jaksa pada sidang selanjutnya. Akan tetapi, ia menduga jaksa hanya mengarang cerita. Begitu juga dengan perkara tersebut yang dinilai sebagai ‘pesanan’.
“Kalau jaksa berani jujur, seharusnya jaksa menuntut bebas para terdakwa. Tetapi kami yakin itu tidak akan mungkin meskipun fakta persidangan membuktikan bahwa terdakwa sama sekali tidak ada melakukan korupsi seperti yang didakwakan oleh jaksa. Sejak semula kami sudah katakan bahwa perkara Ibu Lea dan Ibu Deni ini adalah by request dan by design. Hal itu sangat tepat dan benar adanya berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan. Di dalam Laporan Terjadinya Tindak Pidana ada nama Bendahara SPP juga yang dilaporkan, tetapi kenapa cuma Ibu Lea dan Ibu Deni yang jadi Tersangka? Ada apa jaksa dengan Bendahara SPP,” pungkas Bob. (ben)