Natuna – Bukan hal baru, Natuna menjadi sorotan berita hangat baik secara nasional maupun internasional. Hal ini terjadi karena Natuna merupakan kawasan strategis nasional di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Mempunyai anugerah SDA yang melimpah, membuat sejumlah negara mengklaim tapal batasnya berdasarkan aturan dari nenek moyangnya tanpa mengikuti aturan PBB sampai berebut kepentingan antar negara yang menyebabkan konflik yang tidak berkesudahan di Natuna.
Masuk kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Natuna mempunyai karakteristik kepulauan dengan mayoritas masyarakatnya memanfaatkan kawasan laut sebagai lokasi mata pencaharian setiap harinya.
Perairan Natuna memiliki potensi sumber daya ikan yang melimpah berdasarkan studi identifikasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2011 yakni sebesar 504.212,85 ton per tahun atau sekitar hampir 50% dari potensi WPP 711dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (80% dari potensi lestari) mencapai 403.370 ton.
Setidaknya, ada tiga potensi yang diyakini menarik perhatian Cina di perairan Laut Cina Selatan (LCS) sehingga konvensi UNCLOS tak kunjung digubris. Pertama, potensi sumber daya perikanan yang melimpah dari berbagai jenis ikan, mulai dari ikan pelagis kecil, ikan Demersal, Ikan Karang, Udang Penaeid, lobster, kepiting, rajungan, hingga cumi-cumi. Kedua, kandungan minyak dan gas (migas) yang terkandung di dasar laut Natuna. Ketiga, posisi Laut Natuna sebagai jalur perdagangan yang strategis—diperkirakan menjadi rute utama bagi sepertiga pelayaran dunia.
Pada acara pembukaan in House Jurnalistik Maritim Berwawasan Nusantara yang digelar antara kerjasama UPN Veteran Yogyakarta dengan kedubes AS di Natuna, Senin (27/09/2021) lalu, Rektor UPN Veteran Yogyakarta Dr. Irhas Effendi mengatakan, banyak negara memiliki kepentingan untuk menjaga kedaulatannya. Hanya saja persoalan maritim ini kerap dipandang semata-mata persoalan ekologi, politik, keamanan dan sosial.
Secara spesifik, keberadaan Natuna – Anambas di Kepulauan Riau memiliki potensi maritim yang melimpah dan memiliki cadangan gas alam terbesar di Asia Pasifik, membuat wilayah perairan laut ini mempunyai banyak sekali aktivitas asing yang berpotensi menimbulkan konflik secara global.
“Hingga kini, kapal – kapal ikan asing memasuki perairan laut Natuna Utara untuk melakukan pencurian ikan, mungkin belum tentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Persoalan ini tidak boleh anggap remeh karena ini menyangkut kedaulatan suatu bangsa serta untuk kelangsungan hidup masyarakat nelayan di Natuna – Anambas,” kata Irhas.
Untuk mengawal potensi laut, Irhas mengatakan, dibutuhkan wawasan kebangsaan menjadi kunci ditengah tantangan disrupsi dan globalisasi. Ditinjau dari aspek intelektual adanya pengetahuan yang memadai untuk menghadapi berbagai tantangan dan berbagai potensi yang dimiliki bangsa.
“Hal tersebut sejalan dengan nawacita Presiden Jokowi untuk menciptakan SDM unggul diantaranya pemberdayaan tehnologi serta memperkuat tekhnologi sebagai alat pemerataan, baik didaerah terpencil maupun kota besar mendapat kesempatan dan dukungan yang sama,” katanya.
Di acara yang sama, Wakil Bupati Natuna, Rodhial Huda berbicara mengawal potensi maritim demi kesejahteraan masyarakat Natuna, dilihat kondisi Natuna dari sisi Kepulauan Riau, Nasional maupun Internasional.
“Pemerintah daerah mempunyai kewajiban mengawal potensi maritim ini karena potensi migas dan perikanan di perairan laut Natuna. Jika, dimanfaatkan secara baik maka tidak hanya bisa mensejahterakan masyarakat Natuna saja tetapi juga mampu mensejahterakan masyarakat Indonesia secara menyeluruh,” jelas Rodhial.
Rodhial menerangkan, Kabupaten Natuna satu-satunya Kabupaten di Indonesia yang berbatasan dengan 9 negara. Terletak ditengah-tengah negara tetangga ASEAN diantaranya, Vietnam, Malaysia, Singapore dan Brunai Darussalam.
“Aneh rasanya kalau tidak maju apabila dilihat dari letak Natuna yang strategis dan memiliki potensi sumber daya alam yang besar seperti ini. Perlu dipahami, laut tidak bisa dipandang dari satu sisi ideologi, politik, budaya, pertahanan keamanan dan ekonomi tetapi harus dipandang secara menyuluruh karena luas wilayah Natuna 99 persen adalah lautan. Kondisi ini terdapat kontradiksi dan bertentangan dilapangan. Sebuah Kabupaten memiliki lautan yang sangat luas tetapi aturan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 mengatur Kabupaten tidak memiliki kewenangan di laut,” katanya.
Meski dibatasi aturan tersebut, Rodhial melanjutkan, Pemda Natuna lantas merasa acuh tak acuh akibat keterbatasan itu, tidak mau mengurus dan berbicara laut, namun hanya sebatas pada tatanan pemanfaatan laut saja.
“Bagaimana kondisi laut yang luas ini dimanfaatkan pemda, tapi tidak punya kewenangan untuk mensejahterakan masyarakat Natuna? Meskipun pemda tidak memiliki kewenangan secara penegakan hukum dan aturan, tetapi memanfaatkannya bisa. Vietnam, Thailand, China dan negara lainnya pada hari ini berkeliaran melakukan pencurian ikan (Illegal Fishing), mereka tidak punya kewenangan di laut, tetapi merekalah pemanfaat laut itu sesungguhnya,” katanya lagi.
Mengawal potensi laut yang ada, Pemda dan masyarakat Natuna punya keterbatasan. Hanya melalui perpanjangan tangan ke tingkat provinsi dan pemerintah pusat lah untuk bisa memanfaatkan potensi itu. Kondisi saat ini, Sumber Daya Manusia (SDM), alat tangkap dan transportasi di laut masih minim. Pemerintah pusat penting untuk memberdayakan masyarakat lokal, terutama nelayan-nelayan Natuna untuk dapat memenuhi wilayah ZEE.
“Perlu disampaikan, ada prinsip di laut bahwa orang di laut itu tidak pernah berpikir secara dejure. Ini laut milik siapa, 12 mil laut siapa, 200 mil milik siapa? Tetapi orang laut berpikir bagaimana mereka memanfaatkan laut. Jadi prinsipnya, laut itu tidak ada pemiliknya. Jika laut itu tidak ada pemiliknya, maka sebaliknya siapa pemilik laut sesungguhnya secara de fakto. Kemudian orang laut secara de fakto menganggap pemilik laut adalah si pemilik kapal. Kenapa? karena hanya dengan kapal lah bisa menangkap ikan, berdagang, perang, berwisata dan melakukan segala hal di laut. Tanpa kapal, maka akan menjadi bangsa pesisir yang bisa memanfaatkan hanya laut sebatas disitu saja, tanpa bisa berjalan,” terang Rodhial.
Hal yang terpenting mengawal potensi maritim ini, Rodhial mengatakan, bagaimana menciptakan SDM dengan pengetahuan dan tekhnologi yang cukup memadai serta mampu bersaing dengan negara-negara tetangga.
Pemberdayaan masyarakat dan nelayan Natuna menjadi pengawal maritim yang sesungguhnya dapat dilakukan dengan peningkatan kemampuan kapalnya, SDM, alat tangkap, wawasan bela negaranya. Setelah itu dilakukan, kapal perang dan coast guard tidak akan mengalami kesulitan dilapangan, sebab bisa memanfaatkan mereka sebagai mata, telinga dan tangan untuk menggawal dan menjaga perairan di laut Natuna Utara yang cukup luas beserta sumber dayanya.
Dampak ekonomi dari illegal fishing
Di jumpai di salah satu warung seputaran Jalan Air Lakon, Ketua Aliansi Nelayan Natuna (ANNA), Hendri mengatakan, dari zaman orde baru hingga sekarang, kapal ikan Thailand, Vietnam dan China senantiasa berada di laut Natuna. Selain melintas, keberadaan Kapal Ikan Asing (KIA) di laut Natuna juga melakukan aktifitas penangkapan ikan dan ini sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi para nelayan tradisional Natuna.
Mengingat kilas balik waktu dulu, Hendri menceritakan, Pemerintahan Orde Baru dan Presiden SBY, pada jarak 15 mil – 20 mil, KIA sudah melakukan aktifitas penangkapan ikan, terutama kapal ikan yang berasal dari Negara Thailand. Setelah Susi Pudjiastuti menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, KIA tidak berani lagi melakukan illegal fishing di wilayah laut Natuna dan bergeser lebih jauh dengan jarak 120 mil-130 mil.
“Tapi setelah Susi diganti, belakangan ini pencurian ikan marak lagi terutama dari kapal ikan Vietnam, bahkan mereka lebih berani lagi dan masuk lebih jauh kedalam perairan Indonesia. kalau diukur dari pulau terluar kita, mungkin berjarak 50 mil sudah dijumpai KIA. Sesekali nelayan tradisional kita diintimidasi dan diusir ketika berjumpa dengan mereka, hal ini mereka lakukan karena menggangu aktifitas penangkapan ikan yang sedang dilakukan, mereka kan pakai trawl jadi butuh daerah tangkapan yang luas,” katanya.
Hendri menjelaskan, KIA mempunyai kapasitas 60 gros sampai lebih 100 gros dengan alat tangkap perairan dalam berupa trawl. Trawl merusak sumber daya ikan yang ada karena ikan ditangkap dalam jumlah besar dan ikan kecil ikut ditangkap.
“Keberadaan KIA ini sangat mengganggu wilayah tangkap nelayan Natuna yang berupa spot spot tertentu yang dipenuhi oleh karang. Kalau sudah disapu KIA dengan trawlnya, spot-spot ini akan hancur dan tidak ada ikan lagi. Efek dari illegal fishing ini, hasil tangkapan nelayan Natuna menjadi sangat berkurang, ini dibuktikan dengan hasil tangkapan nelayan 2-3 tahun terakhir ini berkurang 200%,” papar Hendri.
Untuk potensi ikan di laut Natuna berdasarkan data yang ada, Hendri mengatakan sangat besar dan berlimpah, terutama ikan-ikan permukaan. Untuk itu ia berharap, pemerintah pusat dan daerah secepatnya mengambil langkah-langkah dalam mengurangi illegal fishing yang sedang terjadi di laut Natuna.
Walaupun 200 mil ini merupakan wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), Hendri mengatakan, negara lain boleh mengelola ZEE tetapi harus ijin dari pemerintah Indonesia. Nyatanya, sampai saat ini banyak KIA yang tidak memiliki ijin untuk menangkap ikan di perairan Natuna.
“Benar apa yang dikatakan oleh Bakamla yang mengatakan ada ribuan KIA yang beroperasi di laut Natuna. Untuk satu titik koordinat, nelayan Natuna kadang menjumpai 20-30 KIA melakukan illegal fishing, belum di koordinat yang lain, jadi ada ratusan KIA setiap harinya, kalau di akumusikan selama setahun sampai ribuan KIA yang melakukan aktifitas illegal fishing di laut Natuna,” imbuhnya
Dampak sosial Kejahatan Illegal Fishing
Selain dampak ekonomi, dampak sosial dari illegal fishing dirasakan oleh masyarakat Natuna Kasi Inteldakim Imigrasi Kelas II Ranai, Dicky Ronie mengatakan sebanyak 108 Warga Negara Asing (WNA) Kapal Ikan Asing (KIA) kasus ilegal fishing berkewarga negaraan Vietnam sudah dideportasi.
“Pelaksanaan deportasi dilakukan empat tahap mulai tanggal 23 sampai 27 September 2021, tujuan Batam, untuk selanjutnya dipulangkan ke negara asalnya,” ucapnya saat dijumpai di Kantornya, Selasa 5 Oktober 2021.
Jumlah tersebut merupakan gabungan dari WNA yang selama ini ditampung di Lanal Ranai dan Ruang Detensi Kantor Imigrasi Kelas II Ranai. “Terdiri dari 65 WNA dari Lanal dan 43 WNA dari Imigrasi,” ucapnya.
Dicky menjelaskan deportasi tersebut baru dilaksanakan sekarang mengingat pandemi Covid-19 termasuk kesiapan negara asal mereka.
“Keberadaan mereka disini termasuk lama, ada yang 1 tahun paling sebentar 8 bulan,” tegasnya.
Sampai saat ini jumlah WNA ABK KIA yang masih berada di Natuna sebanyak 65 orang yang tersebar di beberapa instansi, imigrasi 27 orang, Lanal Ranai 6 orang, PSDKP di Sabang Mawang sebanyak 32 orang.
Keberadaan WNA di Kota Ranai yang berkeliaran dan sempat membuat resah warga tidak dipungkiri oleh Dicky, dirinya sempat menerima laporan dari warga tentang aktifitas ABK yang menggangu tanaman dan barang warga.
“Kami sempat menerima laporan warga namun baru bersifat lisan,” ungkapnya.
Dicky menerangkan salah satu kendala yang dihadapi dalam pengawasan WNA salah satunya adalah jumlah WNA terlalu banyak tidak sebanding dengan jumlah personil yang ada.
“Walaupun dengan keterbatasan yang ada, kami berusaha semaksimal mungkin melakukan pengawasan, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan,” terangnya.
Terakhir Dicky berharap, pengawasan terhadap WNA dilakukan tidak hanya oleh imigrasi saja tetapi pengawasan dilakukan bersama stakeholder yang ada termasuk masyarakat.
“Siapapun boleh melaporkan pelangaran kriminal yang dilakukan oleh WNA, tugas utama kami adalah memfasilitasi pemulangan mereka ke negara asalnya,” katanya.
Sementara itu Lurah Ranai Kota, Syuparman membenarkan keluhan masyarakat terhadap keberadaan WNA yang sering berkeliaran di sekitar kota Ranai, menurut laporan warga banyak antara mereka yang mengambil tanaman dan barang masyarakat.
“Keluhan terjadi di daerah Batu Ampar, tanaman warga sering diambil mereka,” ucapnya.
Untuk mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut, pihaknya telah menjumpai pihak imigrasi bersama-sama camat Bunguran Timur, supaya pengawasan lebih diperketat.
Sementara itu Bupati Natuna, Wan Siswandi menanggapi permasalahan WNA Ilegal Fishing berjanji akan menghibahkan lahan kepada pihak Kanwil Kemenkumham untuk dapat dibangun Gedung Penampungan sementara bagi WNA sebelum dikirim ke Batam, Tanjungpinang maupun negera asalnya.
“Selama regulasi dan peraturannya memperbolehkan kita akan sesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang diperlukan,” ungkap Wan Siswandi.
Tingkatkan Kerjasama di bidang Maritim
Konsulat dan pejabat utama AS Sumatera Utara, Gordon Churh menegaskan Indonesia – AS memiliki hubungan masyarakat yang erat, memiliki kesamaan nilai dan kepentingan dalam kontek maritim.
“Kedua negara bekerjasama menjaga laut yang mendorong kerjasama yang berkelanjutan disektor kelautan. Dalam kontek keamanan maritim kedua negara bekerjasama dilaut dan sektor pembangunaan berkelanjutan dibidang kelautan,” kata Gordon saat memberikan kata sambutan di acara in House Jurnalistik Maritim Berwawasan Nusantara.
Gordon menjelaskan, kedua negara memiliki kerjasama maritim yang beragam, termasuk latihan berkala bersama Bakamla dan Coast Guard yang baru-baru ini dilaksanakan diwilayah Kepulauan.
“Bulan Januari 2021, Bakamla dan coast Guard berkolaborasi dalam latihan bersama terhadap tanggap ancaman operasional maritim. Amerika menjadikan pusat latihan dengan Bakamla di Batam. Selain itu, angkatan laut Amerika latihan bersama untuk membangun kesadaran diwilayah maritim bersama dengan cara menggelar latihan operasi bersama. Indonesia juga merupakan peserta penting dalam latihan maritim Internasional terbesar yang diadakan di Hawai. Beberapa latihan bersama ini dilakukan sebagai wujud dukungan Amerika bagi Indonesia dalam bidang keselamatan maritim, keamanan, penegakan hukum serta pertahanan maritim,” papar Gordon.
Namun dalam memajukan dan melindungi kepentingan dalam tatanan maritim, Gordon menjelaskan, bukan hanya tugas institusi atau angkatan laut semata tetapi tugas bersama dari semua pihak.
“Karena laut merupakan bagian penting atas kelangsungan dan keberlanjutan hidup manusia, keselamatan serta keamanan maritim menjadi kepentingan semua negara. Hal ini sangat relevan, terlebih bagi Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia memiliki wilayah laut sekitar 70 persen lautan. Karena laut begitu penting, setiap negara harus mengikuti tatanan internasional berbasis aturan yang berlandaskan piagam PBB,” kata Gordon.
Gordon melanjutkan, kadangkala piagam itu terancam, misalnya di Laut China Selatan (LCS) telah terjadi sejumlah interaksi berbahaya antar kapal serta beberapa provokasi yang mempersulit untuk menganeksasi sumber daya laut mereka.
Konflik LCS atau dilaut manapun dapat mengakibatkan konsekuensi global yang serius bagi keamanan ekonomi. Perlunya usaha bersama mendesak kembali keaturan sebelumnya untuk melindungi dan mendorong ke tatanan berbasis aturan PBB.
“Indonesia – AS terus meningkatkan kerja sama dua negara di bidang maritim yang akan mendukung kepentingan kedua negara, melindungi lautan, serta mempromosikan pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan. Pada tanggal 24 Oktober 2015, Indonesia dan Amerika Serikat menandatangani Nota Kesepahaman Kerjasama di Bidang Maritim (Memorandum of Understanding on Maritime Cooperation). Lembar fakta ini memberikan rincian lebih lanjut terkait sejumlah prakarsa utama di bidang maritim antara Amerika Serikat dan Indonesia,” imbuhnya.***(doni / liputan kolaborasi kelompok 1)