Natuna – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Natuna menggelar Paripurna dengan agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) unit Natuna, Selasa 8 Maret 2022.
RDP dilandasi adanya penangkapan kapal ikan di perairan Subi pada Jumat 18 Februari 2022. Kapal berkapasitas 130 gross ton tersebut ditangkap oleh Satpolairud Polres Natuna.
Kapal berbendera Indonesia itu ditangkap lantaran melanggar batas wilayah tangkap dan diduga menggunakan alat tangkap yang dilarang pemerintah.
Usai digiring ke pelabuhan Selat Lampa, kemudian dilakukan pemeriksaan oleh petugas. Karena didapati hanya melanggar zonasi tangkap dibawah 30 mil, akhirnya kapal tersebut dilepaskan setelah diberi sanksi administrasi.
Sementera, masyarakat nelayan secara umum, belum bisa menerima keputusan itu karena menduga kapal tersebut menggunakan alat tangkap terlarang yakni cantrang.
Paripurna ini dipimpin Wakil Ketua II DPRD Natuna, Jarmin Sidik, didampingi Ketua DPRD Natuna, Daeng Amhar dan Wakil Ketua I DPRD Natuna, Daeng Ganda Rahmatullah, serta dihadiri sebagian besar anggota dewan.
Selain PSDKP, tampak hadir dalam Paripurna antara lain, Asisten II Pemkab Natuna, Kapolres Natuna, pihak SKPT Selat Lampa, dan perwakilan nelayan Natuna.
Setelah membuka Paripurna, Jarmin memberikan kesempatan kepada beberapa pihak terkait untuk menyampaikan pandangannya mengenai apa yang menjadi agenda paripurna.
Asisten II Pemkab Natuna, Basri mewakili Pemda Natuna menegaskan, bahwa pemerintah siap menfasilitasi nelayan untuk menyampaikan persoalan kapal cantrang itu dengan pemerintah pusat.
Menurutnya, persoalan ini mesti disampaikan ke pusat agar dapat menjadi atensi penegakan aturan dan hukum di wilayah Natuna.
Terkait hal ini, pemerintah telah melayangkan surat ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk audiensi dalam rangka mempertanyakan persoalan tersebut. Pihak KKP pun merespon dengan baik.
“Cuma sebelum kita ke KKP, kami menekankan kepada DPRD dan bapak-bapak nelayan agar membuat konsep terlebih dahulu sehingga nanti persoalan ini dapat disampaikan secara sistematis kepada kementerian,” kata Basri.
Sementara, Koodinator Satuan Pengawas (Satwas) PSDKP Natuna, Maputra Prasetyo menegaskan, KM Sinar Samudera hanya melanggar administrasi karena beroperasi dibawah 30 mil.
“Kapal ini hanya melanggar zonasi tangkap, maka dia dikenai denda sebesar Rp 159.874.000,- . Dan dendanya sudah dibayarkan ke Kementerian keuangan,”.
Maputra menjelaskan, setelah dilakukan pembayaran denda, maka PSDKP wajib melepaskan kapal sesuai dengan aturan dan mekanisme.
Sebelum kapal tersebut dilepaskan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Polres Natuna, UPTD Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepri di Natuna, dan JPT Selat Lampa dalam hal ini syahbandar.
Ia menyangkal kapal berasal dari Pati, Jawa Tengah, itu menggunakan alat tangkap cantrang, seperti yang dikhatirkan banyak pihak.
“Kita sudah periksa bersama dengan Polairud dan termasuk juga nelayan. Tidak ditemukan adanya cantrang disana. Oleh karena itu, kapal ini hanya dinyatakan melanggar administrasi,” sebutnya.
Disis lain, Kapolres Natuna AKBP Iwan Aryandhy menjelaskan, kapal itu setelah ditangkap langsung dibawa ke Selat Lampa untuk menjalani proses hukum lebih lanjut di PSDKP Natuna.
“Karena keterbatasan sarana di laut, kapal itu kami serahkan ke PSDKP untuk diperiksa. Apabila ada tindak pindana kami akan proses pidannya, tapi kalau hanya pelanggaran administrasi biar diserahkan sepenuhnya ke PSDKP. Dan sekarang sudah dinyatakan hanya melanggar administrasi,”.
Namun Ketua HNSI Cabang Natuna, Hendri bersama nelayan Natuna mengaku masih tetap kukuh dengan dugaannya bahwa di dalam kapal itu terdapat alat tangkap cantrang.
“Pertama sekali kami apresiasi kepada Polres Natuna yang telah menangkap kapal ini. Tindakan ini sudah sangat membantu nelayan dan keselamatan alam bawah laut. Tapi kami masih bertanya-tanya dengan keputusan akhir penegakan hukum terhadap kapal ini,” ucap Hendri.
Ia mengaku, dugaan mereka diperkuat atas pengakuan nakhoda bahwa di kapal itu terdapat alat tangkap cantrang meskipun nakhoda itu memgaku cantrang tidak dipergunakan.
Selain itu, Hendri juga mengaku pihaknya belum bisa menerima legalisasi alat tangkap jaring tarik berkantong sebagai pengganti cantrang karena dampak kerusakannya dinilai sama dengan cantrang.
“Tapi sudah lah, kami tidak mau mencampuri urusan hukum. Kami datang ke paripurna ini berharap sikap bersama antara nelayan, DPRD dan Pemerintah Kabupaten Natuna dalam menolak keberadaan alat tangkap pengganti cantrang itu. Kami berkoar-koar di sini bukan bermaksud menentang pemerintah, tapi kami tidak mau ada konflik di laut karena prilaku nelayan besar seperti ini,” tandas Hendri.***(advetorial)