Bursakota.co.id, Lingga – Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Lingga, Ruslan, mengecam sikap bungkam PT Pelayaran Tonicogita Ekamarin atas insiden tongkang BUKIT EMAS dengan nomor 2312SC47-5J yang terdampar di kawasan konservasi perairan Desa Laboh, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga, Sabtu (01/02/25).
Insiden ini mengakibatkan pencemaran lingkungan akibat muatan bauksit yang tumpah, merugikan masyarakat setempat yang menggantungkan hidup dari hasil laut.
Menurut Ruslan, sikap perusahaan yang seolah lepas tangan terhadap kejadian ini sangat disayangkan. “Perusahaan harusnya bertanggung jawab, bukan malah diam dan membiarkan masyarakat menanggung dampak buruk dari pencemaran ini,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa akibat insiden ini, nelayan yang biasa menangkap ikan dengan meletakkan bubu di karang-karang sekitar lokasi kini kehilangan sumber mata pencaharian mereka.
Selain berdampak pada ekonomi nelayan, pencemaran akibat bauksit juga berpotensi merusak ekosistem laut di wilayah konservasi tersebut. Jika dibiarkan tanpa penanganan, endapan bauksit dapat merusak terumbu karang, mengurangi populasi ikan, dan mengganggu keseimbangan ekosistem perairan yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat Desa Laboh.
Kasus ini tidak hanya berdampak secara ekologis dan ekonomi, tetapi juga memiliki konsekuensi hukum yang serius. Di Indonesia, pencemaran lingkungan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yang mewajibkan perusahaan untuk bertanggung jawab atas setiap dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas mereka.
1. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) Pasal 98 UU PPLH menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.
Pasal 99 mengatur sanksi bagi yang melakukan kelalaian sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan dengan ancaman pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda maksimal Rp3 miliar.
2. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 5 ayat (1) mewajibkan setiap usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan upaya pencegahan dan pengendalian pencemaran lingkungan.
Pasal 125 mengatur tanggung jawab mutlak bagi perusahaan yang mencemari lingkungan, termasuk kewajiban melakukan pemulihan dan membayar ganti rugi kepada masyarakat terdampak.
3. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 35 melarang setiap bentuk pencemaran dan/atau perusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasal 73 mengatur sanksi bagi pelanggar dengan pidana penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.
Dalam kasus pencemaran akibat tumpahan bauksit di Laboh, PT Pelayaran Tonicogita Ekamarin memiliki tanggung jawab hukum yang jelas. Berdasarkan prinsip polluter pays yang diadopsi dalam UU PPLH, perusahaan yang menyebabkan pencemaran wajib:
1. Melakukan Pemulihan Lingkungan
Perusahaan harus segera membersihkan limbah bauksit yang mencemari perairan Desa Laboh dan memulihkan ekosistem yang rusak.
Jika tidak dilakukan, pemerintah dapat memaksa perusahaan melalui mekanisme strict liability (tanggung jawab mutlak) tanpa harus membuktikan kesalahan.
2. Memberikan Kompensasi kepada Nelayan yang Terdampak
Nelayan yang kehilangan mata pencaharian akibat pencemaran berhak atas ganti rugi. Ganti rugi dapat diberikan dalam bentuk finansial maupun program pemulihan ekonomi bagi masyarakat terdampak.
3. Menghadapi Proses Hukum. Jika ditemukan unsur kesengajaan atau kelalaian berat, perusahaan dapat dijerat pidana lingkungan sesuai UU PPLH. Selain pidana, sanksi administratif seperti pencabutan izin usaha juga dapat dikenakan.
Ruslan meminta Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) untuk segera turun tangan dan melakukan investigasi menyeluruh terhadap insiden ini. Ia juga mendesak Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) untuk memberikan sanksi tegas kepada PT.(Bk/Iwan)