Jadilah Pemilih Cerdas Sukseskan Pemilu 2024

0
112
Foto : Pengurus AMSI Kepri Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Advokasi, Riky Rinovsky

Kepri – Masyarakat Provinsi Kepulauan Riau diharapkan menjadi pemilih yang cerdas sehingga dapat mensukseskan pemilihan umum serentak pada tanggal 14 Februari 2024.

“Suara anda menentukan nasib bangsa, ini menjadi tanggungjawab kita bersama. Jadilah pemilih cerdas. Pemilu lima tahun sekali, mari kita sukseskan bersama, mari wujudkan agar Provinsi Kepri menjadi contoh bagi Indonesia, bahwa masyarakat Provinsi Kepri masyarakatnya cerdas,” ungkap Pengurus AMSI Kepri Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Advokasi, Riky Rinovsky, dilansir dari laporan AMSI, Kamis (3/8/2023).

Program jurnalisme cek fakta adalah salah satu program panjang AMSI yang didukung penuh oleh Google News Initiative (GNI).

Program cek fakta disajikan sebagai sumbangsih AMSI bersama koalisi cek fakta untuk menjernihkan ruang digital dari sampah misinformasi dan disinformasi yang acapkali isinya berita palsu (fake news), hoaks, dan juga ujaran kebencian.

Tinggal beberapa bulan lagi bangsa ini akan segera menggelar hajat akbar demokrasi berupa Pemilu Serentak 14 Februari 2024, berupa pemilihan Presiden anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Khusus untuk pemilihan parlemen kita selalu disuguhi istilah: Parliementary Threshold (PT). Hal yang dimaksudkan dengan PT adalah ambang batas minimal perolehan suara Parpol dalam Pemilu untuk bisa mendapatkan kursi di parlemen (DPR).

Istilah lain yang sering kita kenal adalah Electoral Threshold (ET) berupa: ambang batas minimal perolehan suara parpol dalam pemilu untuk bisa mengikuti Pemilu lima tahun berikutnya.

Tetapi ET tak pernah dipakai dalam rentang sejarah pemilu di Indonesia.

Baik PT maupun ET sebenarnya bertujuan untuk menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia, dari multiply party (multi partai) ke simplified party (partai sederhana) dalam rangka mewujudkan sistem pemerintahan presidensial yang lebih efisien.

Namun sampai saat ini upaya penyederhanaan partai politik melalui Pemilu belumlah berhasil.

Hal ini tercermin dari masih banyaknya partai politik baru yang bermunculan setiap mau pemilu (the new bottle but old wine).

Masalah ini bisa terjadi karena tidak sinkronnya regulasi yang mengatur pemilu (UU Pemilu) dan regulasi sistem partai politik (UU Parpol) di Indonesia.

Sejarah PT dalam Pemilu di Indonesia:
Pemilu 2009. PT 2,5 persen.
Pemilu 2014, PT 3,5 persen.
Pemilu 2019, PT 4,0 persen.

Jika dikonversi dengan perolehan kusi, maka sebuah parpol akan lolos PT dalam pemilu yang akan datang (PT 4,0 persen), parpol tersebut harus mampu meraih kursi minimal= 0,04 x 575 = 23 kursi.

Sebanyak sembilan partai politik mendapatkan perolehan suara di atas empat persen atau melewati ambang batas parlemen pada pemilu 2019 yang lalu.

Sisanya, sebanyak tujuh parpol mendapat suara di bawah empat persen atau tak lolos ambang batas parlemen.

Menurut data KPU Pada pemilihan umum 2019 yang lalu berdasarkan penetapan KPU, PDI Perjuangan meraih suara paling tinggi, yaitu 27.053.961 suara atau 19,33 persen.

Di bawah PDI-P menyusul Gerindra dengan perolehan suara 17.594.839 atau 12,57 persen. Urutan ketiga ditempati oleh Golkar dengan 17.229.789 atau 12,31 persen.

Urutan keempat hingga terakhir secara berurutan meliputi PKB, Nasdem, PKS, Demokrat, PAN, PPP, Perindo, Berkarya, PSI, Hanura, PBB, Garuda, dan PKPI.

Bagaimana jika PT terlalu besar (tinggi)?
Akan banyak parpol tak lolos ketentuan PT. Maka, akan terlalu banyak parpol yang tidak lolos PT, akan menyisakan residu politik berupa banyaknya suara pemilih yang “terbuang” karena tidak akan dihitung dalam menentukan perolehan kursi hasil pemilu.

Lagian, jika PT terlalu tinggi, apa bedanya dengan sistim pemilu Distrik (the winer takes all). Padahal sistem pemilu kita memakai rezim Proporsional Terbuka.

Bagaimana kalau PT terlalu kecil atau tak ada PT sama sekali?

Sistem politik kita akan semakin jauh dari upaya penyederhanaan parpol, semakin tak efisien sistem pemerintahan presidensial itu sendiri. Sistem pemerintahan Presidensial yang baik harus ditopang oleh sistem kepartaian yang sederhana.

Jadilah pemilih yang cerdas.

Dalam melakukan perubahan tersebut terutama harus ada pembelajaran yang sempurna bagi pemilih pemula yakni mereka yang masih berusia tujuh belas sampai dengan dua puluh satu tahun.

Pemilih pemula ini merupakan salah satu basis dan umumnya mereka berstatus sebagai pelajar SMA, MA dan santri di pondok-pondok pesantren serta mahasiswa yang belum memiliki pandangan politik yang konstan (swing voters).

Pandangan politik para pemilih pemula ini masih dipengaruhi pandangan orang tuanya, lingkungan, dan informasi dari media sosial.

Meskipun mereka ikut dalam perbincangan politik, namun secara keseluruhan pandangan politiknya sangat terpengaruh oleh faktor eksternal dan internal.

 

Menjadi pemilih yang cerdas, bukan sekedar datang dan hadir di TPS pada hari pemungutan suara, tetapi juga mampu mengkalkulasi secara mandiri azas manfaat nilai suara yang ia berikan.

Apakah bermanfaat secara electoral atau sekedar menjadi residu politik yang tak bermanfaat sama sekali.

Menjelang Pemilu, pemilih sudah harus tahu ke mana suaranya akan diberikan. Harus mampu menimbang parpol mana yang kira-kira akan lolos PT agar suaranya bermanfaat tak menjadi residu politik belaka. Maka jadilah pemilih yang cerdas!

Editor : Dika

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini